Business: Apa itu Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja
Belakangan ini sejumlah aksi demonstrasi dilakukan terkait Omnibus Law. Omnibus Law merupakan upaya pemerintah dalam menyederhanakan investasi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Lantas, hal apa yang membuat para buruh dan serikat pekerja menganggap Omnibus Law ini sebagai hal yang kontra?
Apa itu Sebenarnya Omnibus Law?
Omnibus Law, atau perampingan aturan, sesungguhnya terdiri dari beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) termasuk di dalamnya UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dimana pemerintah akan mengajukan dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yaitu, RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan RUU Omnibus Law Perpajakan.
Pada kali ini mari kita bahas dari segi RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja mencakup sebelas klaster, yaitu: 1) Penyederhanaan Perizinan, 2) Persyaratan Investasi, ) Ketenagakerjaan, 4) Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMK-M, 5) Kemudahan Berusaha, 6) Dukungan Riset dan Inovasi, 7) Administrasi Pemerintahan, 8) Pengenaan Sanksi, 9) Pengadaan Lahan, 10) Investasi dan Proyek Pemerintah, dan 11) Kawasan Ekonomi.
Apa saja poin kontroversial dari RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja?
Hilangnya Ketentuan Upah Minimum di Kabupaten/Kota
Poin ini diatur dalam pasal 88C ayat 2 yang mengatur Upah Minimum Provinsi (UMP), sedangkan pada PP No. 78 Tahun 2015 lalu penetapan upah dilakukan di provinsi serta Kabupaten/kota.
Pesangon & Penghargaan Masa Kerja
Nilai pesangon bagi pekerja yang terkena PHK dianggap menurun. Sebelumnya aturan mengenai pesangon ada dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Perhitungan uang pesangon yang dijelaskan dalam pasal 156 RUU, dimaana besaran pesangon tergantung pada lama masa kerja buruh yang bersangkutan.
- masa kerja kurang dari 1 tahun = 1 bulan upah
- masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun = 2 bulan upah
- masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun = 3 bulan upah
- masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun = 4 bulan upah
- masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun = 5 bulan upah
- masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun = 6 bulan upah
- masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun = 7 bulan upah
- masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun = 8 bulan upah
- masa kerja 8 tahun atau lebih = 9 bulan upah
Pada RUU Cipta Kerja Pasal 156 ayat (1) hanya disebutkan bahwa dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha hanya wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja. Sementara itu di UU Ketenagakerjaan, dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
Sementara pada ayat (3), perhitungan uang penghargaan masa kerja berkurang, dari maksimal 10 bulan menjadi maksimal 8 bulan. Dengan perhitungan berikut ini:
- Masa kerja kurang dari 3 tahun = bonus 1 kali gaji
- Masa kerja 3 sampai kurang dari 6 tahun = bonus 2 kali gaji
- Masa kerja 6 tahun sampai kurang dari 9 tahun = bonus 3 kali gaji
- Masa kerja 9 tahun sampai kurang dari 12 tahun = bonus 4 kali gaji
- Masa kerja 12 tahun sampai kurang dari 15 tahun = bonus 5 kali gaji
- Masa kerja 15 tahun sampai kurang dari 18 tahun= bonus 6 kali gaji
- Masa kerja 18 tahun sampai kurang dari 21 tahun = bonus 7 kali gaji
- Masa kerja 21 tahun atau lebih = bonus 8 kali gaji.
Sedangkan pada UU Ketenagakerjaan memiliki periode masa kerja hingga 24 tahun lebih dengan perhitungan berikut:
- Masa kerja 21 tahun sampai kurang dari 24 tahun = bonus 8 kali gaji
- Masa kerja 24 tahun atau lebih = bonus 10 kali gaji.
Jam Kerja & Jam Lembur
Jam kerja juga salah satunya yang masuk dalam rancangan draf RUU Cipta Kerja. Rancangan draf jam kerja ini terdapat pada pasal 77 yang diubah menjadi tiga poin aturan. Berikut tiga poin tersebut:
- (1) Setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
- (2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu.
- (3) Pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Selain itu dalam RUU Cipta Kerja juga menambahkan satu draf pasal baru yang dinamai pasal 77 A. Isi dalam pasal ini terdapat tiga aturan baru dimana salah satunya memperbolehkan perusahaan untuk memberlakukan waktu kerja sendiri. Berikut bunyi pasal 77 A :
- (1) Pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu.
- (2) untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu. (2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan skema periode kerja.
- (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu serta skema periode kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pernyataan perihal jam lembur yang lebih panjang pun juga tertulis dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja pada Bab IV Soal Ketenagakerjaan pasal 78.
Pasal 78 memiliki 4 poin yang mengatur jam lembur, berikut bunyinya:
- (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
- (2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
- (3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi pekerjaan atau sektor usaha tertentu. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja diatur dengan peraturan pemerintah.
Mari kita coba lihat dari segi bunyi pasal 78 UU Nomor 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan yang mengatur jam lembur:
- (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat
- (2) harus memenuhi syarat :
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu. (2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
- (3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
- (4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Itu tadi beberapa hal kontroversial dari draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja/RUU Cipta Kerja. Untuk saat ini sejumlah gesekan masih terjadi antara pihak buruh dengan pemerintah dan mendesak agar draf segera direvisi.
Cari tahu bagaimana Workmate bekerja dan turut serta dalam mensejahterakan pekerja harian lepas, klik di sini untuk mulai konsultasi.